✔ Dongeng Dari Sang Guru

Sedikit flashback 2 tahun ke belakang, ketika saya masih duduk dibangku kelas 12 salah satu sekolah kejuruan swasta di kawasan Kuningan Jawa Barat. Masih teringat terperinci akan salah satu dongeng motivasi yang kerap kali Guru mata pelajaran kejuruan berikan, setiap sebelum pembahasan materi kejuruan dimulai. Kini akan saya ceritakan kembali untuk mengingatkan sekaligus menjadi motivasi untuk saya pribadi dan pembaca tentunya. Walaupun tak sama persis ibarat apa yang diceritakan Guru saya, tapi paling tidak maksud dan tujuan inti dari dongeng ini tidak hilang.


Seorang ayah yang mempunyai dua orang anak laki-laki, sebut saja namanya Bungsu dan Sulung. Kala itu ayah si bungsu dan si Sulung sedang dalam masa kritis, yaitu menghadapi sakaratul maut. Saat itu pula sang ayah berwasiat kepada kedua anaknya. Ada dua hal penting yang diwasiatkan sang ayah.

Pertama, "Jika kalian (Bungsu & Sulung) ingin keluar rumah dan pulang ke rumah, janganlah sesekali wajahmu terkena oleh sinar matahari".
Kedua, "Jangan menagih hutang kepada orang yang berhutang kepadamu!".

Jauh-jauh hari sebelum janjkematian menjemput sang ayah, sang ayah itu sudah mempersiapkan pembagian harta warisan untuk kedua anaknya si Bungsu dan si Sulung. Harta warisan pun dibagi sama rata, 50% untuk si Bungsu dan 50%-nya lagi untuk si Sulung.

Harta warisan yang diberikan sang ayah yaitu sebuah toko dengan nilai masing-masing aset sama rata.

Singkat dongeng sang ayah yang sudah tiada, kedua anaknya pun Bungsu dan Sulung mulai menjalankan perjuangan toko yang telah diwariskan almarhum ayahnya. Tapi entah kenapa, sesudah beberapa tahun kemudian perjuangan toko yang dijalankan si Sulung malah mengalami kebangkrutan, berbeda dengan perjuangan yang dijalankan si Bungsu yang semakin hari malah semakin mengalami peningkatan income.

Guru saya bilang... padahal, keduanya Bungsu dan Sulung sama-sama mendapat kepingan yang rata, dan sama-sama menjalankan apa yang menjadi pesan terakhir sang ayah.

Mengapa dapat demikian? "Tanya sang guru pada saya dan teman-teman" sembari kami diam memikirkan jawabannya.

Penyebabnya spele, yaitu berkaitan dengan 2 wasiat yang diwasiatkan ayahnya. Apa hubungannya? "Seraya hati saya berkata". Kemudian lanjut Beliau menerangkan.

Sebenarnya apa yang telah dilakukan mereka itu sama sekali tidak salah, mereka itu benar, mereka itu sama-sama menjalankan amanah sesuai dengan apa yang telah diwasiatkan sang ayah. "Guru saya Bilang begitu, saya semakin galau kala itu".

Lanjut menerangkan. Keduanya memang sama, yaitu melaksanakan pesan terakhir ayahnya. Namun di sisi lain ada yang berbeda. Apa itu? Jawabannya yaitu penafsiran mereka justru yang berbeda.

Si Sulung menafsirkan wasiat yang pertama bahwa kalau saya tidak ingin wajahku terkena sinar matahari, maka setiap kali saya berangkat dan pulang kerja saya harus menyewa jasa becak (Naik ojek Becak) semoga tidak terkena sinar matahari. Dengan begitu secara tidak eksklusif si Sulung melaksanakan pemborosan ongkos, sehingga lebih banyak pengeluaran. Padahal jarak antara rumah si bungsu dan si sulung ke tempat toko mereka masing-masing tidaklah terlalu jauh, hanya memerlukan waktu sekitar 30menit untuk hingga ditujuan dengan berjalan kaki.

Lain halnya dengan apa yang dilakukan si Bungsu. Karena si Bungsu tak ingin mengeluarkan uangnya secara cuma-cuma, maka beliau sama sekali tidak pernah naik jasa angkutan becak untuk hingga di tokonya, melainkan ia selalu berangkat pagi-pagi buta Sebelum matahari terbit untuk hingga ke tokonya dan pulang ke rumah larut malam sesudah matahari terbenam dengan berjalan kaki. Itu beliau lakukan hanya alasannya wajahnya tidak ingin terkena sinar matahari sesuai dengan apa yang diamanatkan sang ayah. Dan alasannya si Bungsu selalu berangkat pagi-pagi, dengan begitu toko si Bungsu dapat buka lebih awal ketimbang toko-toko lain yang masih tutup. ...itu klarifikasi yang pertama.

Kemudian untuk wasiat kedua yaitu "Jangan sesekali kalian (Bungsu & Sulung) menagih hutang kepada orang yang berhutang kepadamu".
 
Pantas saja si Sulung tokonya mengalami kebangkrutan toh beliau selalu menunjukkan begitu banyak hutang kepada pelanggan-pelanggannya dan tak pernah sekalipun ia menagihnya. Karena dalam pikirnya, apabila hutang-hutangku saya tagih, maka saya telah melanggar apa yang menjadi wasiat sang ayah dulu. Lain si Sulung, lain lagi dengan si Bungsu yang tidak pernah menunjukkan hutang kepada pelanggan-pelangganya. Hal ini si Bungsu lakukan alasannya apabila saya menunjukkan hutang kepada mereka, maka saya tidak akan dapat untuk menagihnya ("karena sang ayah telah melarang-ku untuk menagih hutang kepada orang yang berhutang kepada-ku").
 
Dari dongeng singkat diatas jelas, bahwa keduanya sama. Sama-sama diwasiatkan 2 hal oleh sang ayah, kemudian sama-sama diberi aset dengan nilai yang sama yaitu Toko. Namun keduanya mempunyai pandangan dan pola pikir berbeda di dalam penafsiran maksud dan tujuan sang ayah. Hal yang patut kita pola yaitu pola pikir yang dilakukan oleh si Bungsu.

Begitulah kira-kira ceritanya, walaupun memang sesudah saya coba search di google dongeng ibarat ini sangat banyak salinannya, dengan pernak-pernik dan sentuhan bahasa kalimat yang berbeda. Tapi ini saya posting hanya sebagai pengisi kekosongan Blog saya sekaligus mengenang insiden lampau yang insya allah membuahkan hasil yang baik. Dan tentunya sebagai materi atau rujukan bagi kaum pembaca untuk dapat memotivasi diri sendiri.

Nanang Abdurrahman, S.Kom
Sang Guru

Belum ada Komentar untuk "✔ Dongeng Dari Sang Guru"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel